Bunyi Piagam Jakarta: Sejarah, Isi, Kontroversi, dan Pengaruhnya Hingga Kini

Bunyi Piagam Jakarta: Sejarah, Isi, dan Kontroversi (SEO Article)

Piagam Jakarta adalah dokumen penting dalam sejarah Indonesia. Dokumen ini dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan sebagai rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi Piagam Jakarta yang asli, khususnya pada sila pertama, memicu perdebatan panjang dan menjadi titik balik penting dalam perumusan dasar negara kita.

Artikel ini akan membahas secara mendalam bunyi Piagam Jakarta, sejarah penyusunannya, kontroversi yang menyertainya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan ideologi dan hukum di Indonesia. Mari kita telusuri perjalanan Piagam Jakarta dari masa perumusan hingga relevansinya saat ini.

Sejarah Singkat Penyusunan Piagam Jakarta

Proses penyusunan Piagam Jakarta tidak lepas dari peran Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah berdiskusi panjang mengenai dasar negara, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan rancangan pembukaan UUD 1945. Panitia Sembilan ini beranggotakan Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, Wachid Hasyim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr. AA Maramis, dan Mr. Achmad Soebardjo.

Dalam waktu singkat, Panitia Sembilan berhasil merumuskan sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dokumen ini diharapkan dapat menjadi landasan filosofis dan ideologis bagi negara Indonesia merdeka. Namun, bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta segera menjadi pusat perhatian dan perdebatan.

Bunyi Asli Piagam Jakarta

Bunyi lengkap Piagam Jakarta sangat penting untuk dipahami secara utuh. Berikut adalah bunyi lengkap Piagam Jakarta:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Kontroversi Sila Pertama: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”

Inti dari kontroversi Piagam Jakarta terletak pada rumusan sila pertama, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Rumusan ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian tokoh nasional, terutama yang berasal dari wilayah Indonesia Timur yang mayoritas beragama non-Islam.

Mereka berpendapat bahwa rumusan tersebut dapat menimbulkan diskriminasi dan perpecahan di antara masyarakat Indonesia yang majemuk. Ketakutan ini didasarkan pada potensi penerapan hukum syariat Islam secara eksklusif kepada umat Muslim, yang dikhawatirkan akan mengabaikan hak-hak penganut agama lain.

Latar Belakang Munculnya Rumusan Sila Pertama

Rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tidak muncul secara tiba-tiba. Ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, termasuk peran aktif tokoh-tokoh Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka merasa perlu memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam dasar negara.

Selain itu, usulan tentang negara Islam atau penerapan syariat Islam juga telah muncul dalam berbagai forum diskusi selama masa persiapan kemerdekaan. Rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta dapat dilihat sebagai kompromi antara berbagai pandangan yang berkembang saat itu.

Reaksi dan Kritik Terhadap Rumusan Sila Pertama

Reaksi terhadap rumusan sila pertama Piagam Jakarta sangat beragam. Sebagian tokoh Islam mendukung rumusan tersebut karena dianggap sesuai dengan aspirasi umat Muslim. Namun, tokoh-tokoh nasionalis dan perwakilan dari kelompok minoritas agama menyuarakan keberatan mereka.

Kritik utama yang dilontarkan adalah bahwa rumusan tersebut berpotensi melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warga negara, tanpa memandang agama yang dianut. Hal ini dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya.

Peran Mohammad Hatta dalam Perubahan Rumusan Sila Pertama

Mohammad Hatta memainkan peran kunci dalam perubahan rumusan sila pertama Piagam Jakarta. Setelah menerima masukan dan keberatan dari berbagai pihak, terutama perwakilan dari wilayah Indonesia Timur, Hatta berinisiatif untuk melakukan lobi dan negosiasi dengan tokoh-tokoh Islam.

Hatta berhasil meyakinkan para tokoh Islam untuk menerima perubahan rumusan sila pertama demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Perubahan ini menunjukkan kearifan dan kepemimpinan Hatta dalam mengatasi perbedaan pendapat dan mencapai mufakat.

Perubahan Rumusan Sila Pertama dan Lahirnya Pancasila

Akhirnya, rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan ini dilakukan atas dasar kesepakatan bersama dan demi menjaga keutuhan negara Indonesia.

Perubahan ini menandai lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang final dan mengikat seluruh warga negara. Pancasila yang kita kenal saat ini merupakan hasil kompromi dan konsensus dari berbagai kelompok dan ideologi yang ada pada saat itu.

Pengaruh Piagam Jakarta Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia

Meskipun rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta telah diubah, dokumen ini tetap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan hukum di Indonesia. Piagam Jakarta seringkali menjadi rujukan dalam perdebatan mengenai penerapan syariat Islam dalam hukum nasional.

Beberapa kelompok masyarakat terus memperjuangkan penerapan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan merujuk pada semangat yang terkandung dalam Piagam Jakarta. Namun, upaya ini seringkali menimbulkan polemik dan perdebatan di kalangan masyarakat.

Relevansi Piagam Jakarta di Era Modern

Di era modern, Piagam Jakarta tetap menjadi topik yang relevan dan menarik untuk didiskusikan. Perdebatan mengenai identitas nasional, hubungan agama dan negara, serta penerapan nilai-nilai agama dalam hukum terus berlanjut.

Memahami sejarah dan isi Piagam Jakarta dapat membantu kita untuk lebih memahami dinamika politik dan sosial di Indonesia, serta untuk mencari solusi terbaik dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini.

Kesimpulan

Piagam Jakarta adalah dokumen penting dalam sejarah Indonesia yang menyimpan nilai-nilai sejarah dan ideologis yang kompleks. Kontroversi mengenai sila pertamanya mencerminkan keberagaman pandangan dan aspirasi yang ada dalam masyarakat Indonesia pada masa itu. Pemahaman yang mendalam tentang Piagam Jakarta penting untuk memahami perjalanan bangsa dan menjaga semangat persatuan dalam keberagaman.

Dengan mempelajari sejarah Piagam Jakarta, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang pentingnya toleransi, dialog, dan kompromi dalam membangun bangsa yang adil dan sejahtera. Semangat gotong royong dan musyawarah mufakat yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia perlu terus dilestarikan untuk menghadapi berbagai tantangan di masa depan.